Monday 26 October 2015

PULAU GILI LABEK SUMENEP MADURA



Pulau Gili Labak Sumenep kini menjadi salah satu pusat wisata di Madura. Kecantikan pulau kecil ini tidak diragukan lagi. Panoramanya seolah melambaikan tangan pada para pengunjung untuk hadir dan menikmati keindahannya.
Tidak hanya mengandalkan pasir putih layaknya pulau Lombok, Gili Labak juga mengenalkan kecantikan alam bawah laut. Di beberapa titik tertentu pulau ini memiliki pemandangan yang luar biasa. Karang laut yang menawan dibalut dengan ikan-ikan cantik yang berenang di sekitarnya menambah keanggunan sisi bawah laut pulau ini.

Adapun pulau ini terletak di Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep. Tepatnya di sebelah timur Poteran, atau tenggara jika dilihat dari kota Sumenep. Karena letaknya yang berada di sebelah tenggara inilah menyebabkan rute menuju pulau ini menjadi banyak. Seperti yang diketahui, di pantai sebelah timur Sumenep terdapat banyak pelabuhan kecil. Sehingga pengunjung lebih mudah memilih rute mana yang akan dijalani.



Pulau ini mempunyai luas lima hektare (ha) dan dihuni 35 kepala keluarga (KK) atau 105 jiwa. Rinciannya, perempuan 58 orang dan laki-laki hanya 36 orang, sisanya 9 orang masih anak-anak. "Pulau Gili Labak mempunyai keindahan tersendiri. Selama ini telah banyak dikunjungi wisatawan mancanegara yang sengaja datang melalui jalur laut dari Pulau Bali," kata Busyro, Sabtu 23 Juli 2011.
Menurut dia, pulau yang bisa ditempuh dari wilayah Kecamatan Talango antara 1 sampai 1,5 jam dengan menggunakan perahu layar motor (PLM) atau perahu rakyat tersebut bisa dijadikan lokasi menyelam dan snorkeling. "Potensi baharinya sangat menakjubkan. Selama ini sudah sering digunakan untuk diving dan snorkeling oleh wisatawan.

Kondisi perairan Pulau Gili Labak tersebut cukup tenang dan bersih. Ikan warna-warni terlihat jelas dari permukaan. Didukung kondisi pasir putih dan bersih membuat pengunjung betah berada dipulau yang masih perawan tersebut. Saat ini, Taman laut di Pulau Gili Labak juga acap dijadikan ajang olahraga bahari, selam dasar dan selam profesional (scuba diving).







Setiap pengunjung, selalu berusaha mengelilingi pulau tersebut, baik dengan cara menggunakan perahu rakyat maupun berjalan kaki lewat pesisir pantai. "Hanya membutuhkan 30 sampai 45 menit untuk mengelilingi pulau Gili Labak," katanya.

Penduduk Ramah
Hubungan antar warga Pulau Gili Labak yang kehidupannya berada di laut sangat ramah. Mereka juga senang bila ada pengunjung datang dari luar. Bahkan, rela menyewakan tempat istirahat bagi pengunjung dengan fasilitas seadanya. Memang, belum ada fasilitas penginapan maupun fasilitas lain sebagaimana lokasi wisata pada umumnya.

Penerangan pada malam hari di pulau di timur Pulau Madura itu menggunakan listrik tenaga surya (LTS). Bagi mereka yang mempunyai kemampuan lebih menggunakan disel listrik pribadi. Tak ada restoran atau tempat makan yang representatif bagi pengunjung, sehingga yang ingin berlama-lama di pulau tersebut perlu membawa makanan dari Pulau Poteran atau Pelabuhan Kalianget.

Ketua RT 05 Pulau Gili Labak, Abd Jalil, mengatakan, para pengunjung dari luar daerah memang perlu membawa makanan sendiri atau menghubungi setiap warga yang bisa membantu untuk memasak. "Kalau di sini hanya warung kecil yang ada dan menjual makanan instan," katanya.

Pemerintah setempat maupun dari pengusaha lokal belum melakukan sesuatu untuk mengembangkan lokasi wisata bahari di Pulau Gili Labak, sehingga kondisinya masih belum terjamah. "Kalau pagi dan sore hari ini, kebanyakan pengunjung ada di pinggir pantai menikmati hangatnya matahari. Kalau siang banyak yang berteduh di bawah ribuan pohon kelapa yang hidup subur," katanya.

Adapun beberapa rute dan transportasi menuju Pulau Gili Labek Sumenep:
1. Pelabuhan Kalianget
Rute ini merupakan salah satu rute yang paling banyak digunakan. Letaknya yang strategis memudahkan pengunjung untuk melewati rute ini. Adapun rute ini jika pengunjung berangkat dari jantung kota Sumenep silahkan ke arah timur kurang lebih 10 km. Sesampainya di pelabuhan, pengunjung cukup mencari perahu dan menyewanya untuk berlayar ke pulau Gili Labak. Akan tetapi saat ini ada banyak jasa tour yang menyiapkan perahu serta mengantarkan pengunjung hingga ke tempat tujuan.
2. Desa Lobuk
Desa Lobuk merupakan salah satu desa yang terdapat dermaga atau pelabuhan mini. Biasanya desa Lobuk merupakan salah satu rute menuju ke pulau Gili, baik Gili Genting maupun Gili Raja. Namun, saat ini dermaga di Desa Lobuk mulai rame. Banyak pengunjung desa Gili Labak memilih rute ini. Hal ini dikarenakan bagi pengunjung yang berasal dari luar Kota Sumenep akan lebih dekat melewati rute ini dibandingkan dengan rute yang lain. Pengunjung yang berasal dari luar Kabupaten Sumenep langsung belok kanan di pertigaan Bluto. Dari pertigaan ke kanan kemudian lanjutkan perjalanan ke arah timur hingga terdapat dermaga atau pelabuahn kecil di sana. pengunjung bisa langsung memesan perahu atau bisa memilih menggunakan jasa pelayaran ke Gili Labak.
3.  Tanjung Saronggi
Tempat lain yang bisa dijadikan rute menuju Gili Labak adalah Saronggi. Dari pertigaan Saronggi, silahkan berjalan ke timur hingga mencapai pantai. Disana juga terdapat dermaga yang banyak tersedia perahu kecil untuk menuju Gili Labak
4. Desa Kombang
Desa ini terdapat di kecamatan Talango. Rute dari kota hampir sama dengan yang melewati Kalianget. Bedanya, rute ini dari kalingat harus ke Talango dulu untuk melewati jalur darat hingga sampai di Kombang. Setelah itu pengunjung bisa langsung memesan perahu dengan harga yang lebih murah dan waktu yang lebih singkat.

Dari keempat rute tersebut waktu yang dibutuhkan hampir sama yakni 2 jaman. Tergantung keadaan cuaca dan angin yang kerap menganggu perjalanan menuju ke Pulau Gili Labak. Hal ini dikarenakan sampai saat ini belum ada kapal besar menuju pulau anggun tersebut. Sedangkan untuk memperoleh harga murah, maka sebaiknya dalamberangkat ke Gili Labak tidak sendirian, melainkan 8-10 orang. Karena semakin banyak, maka sewa perahu bisa menjadi lebih ringan.

Wednesday 8 July 2015

UPACARA NGABEN BALI

 Hasil gambar untuk upacara ngaben  di bali
Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.
Hasil gambar untuk upacara ngaben  di baliHasil gambar untuk upacara ngaben  di bali
Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.

Tentang asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang berpendapat dari  kata ngabu yang berarti menjadi abu.  Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata Ngapen yakni penyucian dengan api. Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa pencipta dikenal sebagai dewa api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan mengembalikan roh pada Sang Pencipta.

Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan upacara ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya menghambat perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang sesuai untuk melakukan upacara Ngaben biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham. Tubuh jenasah akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah berbentuk vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau lembu ini dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari jenasah.

Puncak Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur yaknik Lembu atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk keluarga yang kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dilakukan Ngaben.

Upacara Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti sebuah pesta dan memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan upacara Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian. Saat ini, masyarakat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Ngaben secara massal untuk mengemat biaya. Jadi, jasad orang yang sudah meninggal dimakamkan untuk sementara waktu sambil menunggu biayanya mencukupi. Namun, bagi keluarga yang mampu, Upacara adat Ngaben bisa dilakukan secepatnya.

Ngaben merupakan salah satu upacara besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara Pitra Yadnya ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal. Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.

Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan keadaan.

Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).

Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).

Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu).
Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma/roh.

Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama masih hidup.

Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam satu kampung.

Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.

Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta (Pedanda), setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga, dibantu oleh masyarakat mempersiapkan sarcophagus atau “bade dan lembu” atau Wadah berbentuk vihara atau padma, sebagai symbol rumah Tuhan. Bade dan Lembu yang disiapkan biasanya sangat megah, terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.

Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya, sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah yang tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat kasus bom Bali 1, dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya, kemudian dibakar. Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda. Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), pada pagi hari ketika upacara ini akan dilaksanakan, maka pihak keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu atau orang yang dianggap paling tua di dalam masyarakat. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap, seperti layaknya orang yang masih hidup.
 Hasil gambar untuk upacara ngaben  di baliHasil gambar untuk upacara ngaben  di bali
Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh.

Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan, secara beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk lembu atau vihara ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.

Di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali.
Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan (“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.

Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin.

Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
 Hasil gambar untuk upacara ngaben  di baliHasil gambar untuk upacara ngaben  di bali
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.

Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya yang meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia, berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

UPACARA YADNYA KASADA BROMO

Mengenal Upacara Yadnya Kasada di Bromo  



Upacara Yadnya Kasada Bromo atau Hari raya besar Suku Tengger umat hindu di Wisata Gunung Bromo yang di sebut Kasodo. Pernah mendengar upacara yang satu ini Upacara Yadnya Kasada atau Kasodo di wisata gunung Bromo yaitu sebuah Upacara sesembahan atau sesajen ini adalah untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur yang digelar setiap bulan Kasada hari-14 dalam penanggalan kalender tradisional Hindu Tengger, Upacara adat ini digelar di Pura Luhur Poten, tepat di kaki Gunung Bromo, pada tengah malam hingga dini hari. Upacara adat suku Tengger ini bertujuan untuk mengangkat dukun atau tabib yang ada di setiap desa di sekitar Gunung Bromo.

 Hasil gambar untuk upacara kasada bromoHasil gambar untuk upacara kasada bromo

Dalam festival ini suku Tengger akan melemparkan sesajen berupa sayuran, ayam, dan bahkan uang ke kawah gunung tersebut.
Berbicara soal Gunung Bromo, Gunung Bromo merupakan bagian Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Provinsi Jawa Timur, Indonesia ini adalah salah satu tujuan wisata tersohor tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Gunung Bromo memiliki keunikan panorama indah sekaligus mistis sehingga menyodorkan suasana berbeda dibandingkan gunung lainnya. Di sini terbantang keindahan lanskap pegunungan dengan asap yang membumbung dari kawahnya dan di bawahnya ada lautan pasir luas menggelilinginya, obyek yang akan di kunjungi pun beragam, ketika pagi akan menikmati wisata bromo matahari terbit atau Bromo Sunrise di Penanjakan 1 Gunung Bromo, kedua akan melihat langsung Kawah Gunung Bromo, menyelusuri Padang Savana Bromo dan terakhir menjelajahi indahnya Pasir Berbisik di wisata gunung Bromo.
Hasil gambar untuk upacara kasada bromo

Tujuan wisatawan sudah sangat jelas menikmati semua keindahan alam Bromo, tetapi hal yang unik pun yang belum kita tahu dan membuat kita penasaran salah satunya event tahunan yaitu Upacara besar Nyadnya Kasada atau Kasodo yang di adakan pada bulan Agustus-September pada bulan purnama.
Suku Tengger Bromo dikenal sangat berpegang teguh pada adat dan istiadat terutama pada Upacara Yadnya Kasada Bromo ini, dan mereka jadikan Hindu lama sebagai pedoman hidup mereka. Keberadaan suku ini juga sangat dihormati oleh penduduk sekitar termasuk menerapkan hidup yang sangat jujur dan tidak iri hati. kembali ke Sejarah Gunung Bromo tentang asal muasal Suku Tengger Bromo di ceritakan bahwa


Ritual ini sudah dilakukan beratus-ratus tahun. Suku Tengger adalah keturunan Rara Anteng (putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (putra Brahmana).  Sehingga nama Tengger merupakan nama penggabungan kedua tokoh ini. Pasangan Rara Anteng dan Jaka membangun pemukiman dan menguasai Tengger.
Sekian tahun menikah, pasangan ini merindukan anak. Keduanya memutuskan bertapa meminta Tuhan agar menganugerahkan anak. Keinginan mereka didengar Tuhan. Tiba-tiba terdengar  suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul. Hanya mereka disyaratkan untuk mengorbankan putra bungsu mereka ke kawah Gunung Bromo.

Mereka bersedia menerima syarat itu. Tuhan pun menganugerahkan 25 anak kepada pasangan ini. Pasangan ini pun menyayangi Kesuma, putra bungsu mereka yang tumbuh menjadi anak gagah. Bertahun-tahun kemudian, Tuhan menagih janji mereka lantaran melihat pasangan ini seolah ingkar janji.

Malapetaka datang. Dewa yang marah membuat bumi gelap gulita. Pasangan itu teringat janji mereka. Keduanya menceritakan janji mereka itu kepada Kesuma. Kesuma bersedia berkorban untuk keselamatan negeri. Dunia tenang kembali. Masyarakat Tengger berkembang biak. Hingga sekarang, Suku Tengger tetap memegang keyakinan sebagai pemeluk Hindu. Tradisi upacara Yadnya Kasada terus dipertahankan sampai sekarang. 


Asal mula SUKU TENGGER diambil dari nama belakang RARA ANTENG dan JOKO SEGER. Keduanya membangun pemukiman dan memerintah di kawasan Tengger ini kemudian menamakannya sebagai Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger atau artinya “Penguasa Tengger yang Budiman”.
Sebelum Upacara Yadnya Kasada Bromo dilangsungkan, calon dukun dan tabib akan menyiapkan beberapa sesaji untuk dipersembahkan dengan cara melemparkannya ke kawah Gunung Bromo. Persembahan sesajen ini dilakukan beberapa hari sebelum upacara Yadnya Kasodo Bromo. Mereka juga harus melalui tes pembacaan mantra terlebih dahulu saat upacara Yadnya Kasada Bromo berlangsung sebelum dinyatakan lulus dan diangkat oleh tetua adat. Peran dukun atau tabib badi suku Tengger sangat kuat karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan masalah yang dialami oleh masyarakatnya,

Hasil gambar untuk upacara kasada bromoHasil gambar untuk upacara kasada bromo

Kemudian tepat pada malam ke-14 bulan Kasada, pada bulan Purnama, suku Tengger akan beramai-ramai membawa sesajen berupa hasil ternak dan pertanian ke Pura Luhur Poten bromo dan menunggu hingga tengah malam saat dukun ditasbihkan tetua adat. Berikutnya, sesajen yang disiapkan dibawa ke atas kawah Bromo untuk dilemparkan ke kawah sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang. Bagi suku Tengger, sesaji yang dilembar ke Kawah Bromo tersebut sebagai bentuk kaul atau rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas pelemparan sesaji ini yang berada di kawah gunung bromo dapat Anda lihat sejak malam hingga siang hari saat hari menjelang upacara Yadnya Kasada Bromo.
Apabila Anda berminat menyaksikan Upacara Yadnya Kasada Bromo maka disarankan datang sebelum tengah malam karena ramainya persiapan para dukun dan masyarakat setempat, atau jika anda masih belum tau untuk hari dan kapan di adakannya Upacara Yadnya Kasada Bromo ini anda bisa langsung bertanya kepada kami di Wisata Bromo tempatnya kumpulan Paket Wisata Bromo atau Bromo Tour.
Terimakasih telah membaca artikel tentang Upacara Yadnya Kasada Bromo yang di gelar di Wisata Gunung Bromo, semoga bermanfa’at bagi kita semua.

UPACARA ROMBU SOLO TORAJA

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan anisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya.

tana Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di Provinsi Sulawesi Selatan. Di sini Anda menikmati kebudayaan khas Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli. Cicipilah nuansa lain kebudayaan yang unik dan berbeda, mulai dari rumah adat Tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo, Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira.

Menurut mitos yang  diceritakan dari generasi ke generasi, nenek moyang asli orang Toraja turun langsung dari surga dengan cara menggunakan tangga, di mana tangga ini berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan).

Nama Toraja pertama kali diberikan oleh Suku Bugis Sidenreng yang menyebut penduduk yang tinggal di daerah ini sebagai "Riaja" (orang yang mendiami daerah pegunungan). Sementara rakyat Luwu menyebut mereka, "Riajang" (orang-orang yang mendiami daerah barat).


http://indahwisataindonesia.blogspot.com/Upacara pemakaman Rambu Solo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Versi lain mengatakan bahwa Toraja dari kata "Toraya" (Tau: orang, dan raya atau maraya: besar), gabungan dua kata ini memberi arti "orang-orang hebat" atau "manusia mulia". Berikutnya istilah yang lebih sering dipakai adalah sebutan Toraja, kata "tana" sendiri berarti daerah. Penduduk dan wilayah Toraja pun akhirnya dikenal dengan Tana Toraja.

Masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan.

Masyarakat Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait dengan kehidupan dan kematian. Hal ini karena ritual-ritual tersebut terkait dengan musim tanam dan panen.

http://indahwisataindonesia.blogspot.com/ 
Upacara pemakaman Rambu Solo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Masyarakat Toraja mengolah sawahnya dengan menanami padi jenis gogo yang tinggi batangnya. Di sepanjang jalan akan Anda temui padi dijemur dimana batangnya diikat dan ditumpuk ke atas. Padi dengan tangkainya tersebut disimpan di lumbung khusus yang dihiasi dengan tanduk kerbau pada bagian depan serta rahang kerbau di bagian sampingnya.


http://indahwisataindonesia.blogspot.com/  Hasil gambar untuk rambu solo toraja










Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara  atas rumah adat yang baru direnovasi.

Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya.


http://indahwisataindonesia.blogspot.com/ 
Kerbau-kerbau yang dikorbankan pada upacara pemakaman Rambu Solo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan. Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau tongkonan.

Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara.

Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.

Bagi kalangan bangsawan yang meninggal maka mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu di antaranya bahkan kerbau belang yang terkenal mahal harganya. Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan. Kerbau pun langsung terkapar beberapa saat kemudian.

http://indahwisataindonesia.blogspot.com/ 
 Suku Toraja di Sulawesi Selatan.Masyarakat Toraja hidup dalam komunitas kecil di mana anak-anak yang sudah menikah meninggalkan orangtua mereka dan memulai hidup baru di tempat lain. Meski anak mengikuti garis keturunan ayah dan ibunya tetapi mereka semua merupakan satu keluarga besar yang tinggal di satu rumah leluhur (tongkonan).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial Suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual Suku Toraja. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur

Thursday 11 June 2015

PANTAI TIGA WARNA MALANG





merupakan pantai yang kini sedang eksis di dunia para traveler maupun mereka yang senang berlibur ke daerah pesisir. Yap, sesuai dengan namanya Pantai 3 Warna ini memiliki keunikan di warna airnya yang berbeda beda dikarenakan kedalaman air laut. Pantai ini berada di Wilayah Rehabilitasi Dan Konservasi Mangrove, Terumbu Karang Serta Hutan Lindung Desa Tambakrejo (Daerah Konservasi Sendangbiru, Kabupaten Malang – Jawa Timur). Untuk menjaga kelestariannya, Pantai Tiga Warna dikelola oleh Bhakti Alam yang anggotanya berasal dari warga desa sekitar pantai.







Tahukah Anda, Malang punya pantai yang bisa disandingkan dengan pantai-pantai di Bali. Tepatnya di kawasan Malang bagian selatan, terdapat deratan pantai yang memanjakan mata. Seperti, Pantai Tiga Warna yang eksotis ini!.

Berlokasi di Desa Sendang Biru, Kecamatan Sitiarjo, Malang Selatan terdapat kawasan Pantai Clungup, Gatra serta Pantai Tiga Warna yang sangat wajib dikunjungi. Setelah  melewati perkampungan terakhir, kita akan disuguhi trek jalanan tanah kurang lebih 2 km sampai bertemu pos tiket masuk.

Kita dikenakan  biaya tiket tanda masuk pantai serta donasi untuk 1 pohon bakau. Karena pantai tersebut merupakan   kawasan  konservasi bakau dan terumbu karang,  jadi sebelum dan sesudah dari pantai pengunjung akan dilakukan pendataan barang apa saja yang dibawa masuk ke lokasi pantai dengan tujuan menjaga kelestarian pantai.

 
 

Dari pos tersebut masih diteruskan perjalanan kurang lebih 2 km, dengan menyusuri jalanan sempit, turun naik dan berupa tanah, sangat licin apabila musim hujan. Trek yang amazing, panorama yang indah, serta suara khas hewan-hewan hutan akan menemani sepanjang perjalanan.

Bukit-bukit indah serta jajaran pohon bakau menandai lokasi Pantai Clungup sudah dekat, sangat asri dan alami, dengan ombak yang cukup tenang. Hamparan pasir putih akan ditemui di pantai ini, serta di sisi kanan mata kita akan dimanjakan pemandangan hutan mangrove. Puas menikmati pantai clungup, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Gatra dengan melewati tegalan kurang lebih 3 km ke arah kiri.

Sangat menakjubkan  pemandangan di pantai ini, gugusan pulau karang hijau yang tak jauh dari bibir pantai, pasir putih yang kemilau, deburan ombak yang seirama dengan tiupan angin, birunya laut yang membentang hingga menuju cakrawala. Benar-benar indah!

Tidak cukup sampai di sini pengunjung bisa menyatu dengan alam, dengan menggunakan pemandu setempat langkahkan kaki menuju bukit-bukit sebelah kiri Pantai Gatra. Ya, kita akan mendapati Pantai Tiga Warna yang eksotis!

Air laut yang bergradasi, biru dan hijau serta pasir pantainya yang putih jadi alasan mengapa pantainya diberi nama seperti itu. Pengunjung dapat bersantai di pesisir pantai, foto-foto dan snorkeling dengan aman.

Selain airnya yang bersih dan keunikan warna air yang berbeda, para wisatawan Pantai Tiga Warna juga disuguhkan dengan keindahan terumbu karang yang dapat dinikmati sepuasnya selama berada disana. Disini pengunjung difasilitaskan sebuah peralatan Snorkling (kaca mata renang, rompi pelampung, dan selang untuk bernapas) hanya dengan biaya seharga Rp.15.000/orang. Bersebelahan dengan Pantai Sendang Biru, menjadikan Pantai Tiga Warna sebagai pelengkap tur liburan Anda jika berkunjung ke daerah Malang Selatan.  

Pantai 3 Warna Malang dapat diakses menggunakan kendaraan pribadi seperti motor dan mobil. Namun untuk mobil diharuskan memarkirnya di bawah sebelum masuk ke kawasan Pantai Clungup, hal ini dikarenakan akses jalan yang belum memadai sehingga pihak pantai lebih mengutamakan keselamatan para wisatawan.

Karena sebagai kawasan konservasi, maka pantai ini diterapkan pembatasan jumlah pengunjung setiap harinya. Jangan lupa menikmati sensasi kemping, kita bisa mendirikan tenda di lokasi Pantai Gatra dan Clungup. Saatnya menyatu dengan alam.



Untuk menuju Pantai Tiga Warna, traveler menuju Sendangbiru tepatnya sebelum memasuki TPI Sendangbiru ada penunjuk jalan ke arah Pantai Clungup. Memang penanda jalan yang ada belum begitu memadai, hanya berupa plang besi kecil dan kayu yang dipilox tulisan “Pantai Clungup”. Dan penunjuk jalan tersebut membawa kami ke gang perkampungan penduduk.

trek perjalanannya perkampungan penduduk, Pantai Tiga Warna dapat dicapai setelah kita melewati Pantai Clungup dan Pantai Gatra. Kalau ditanya treknya, ya amazing. Jangan bayangkan jalanan beraspal ataupun minimal jalan batu seperti ke pantai Goa Cina. Yang ada, adalah jalanan tanah yang ketika tersiram air hujan berubah menjadi tanah berlumpur. Licin dan jalanan sempit hanya muat untuk satu motor. Jadi kita tidak bisa membawa mobil . Rimbunan kebun pisang di kanan kiri jalan menemani perjalanan. Sempat terseok – seok motor kami di jalanan yang licin. Jika kita memang belum pernah melewati jalanan itu termasuk membingungkan, karena beberapa kali ada persimpangan jalan. Kira – kira 2-3 km kemudian kita baru finish di pos utama pantai Clungup. Pos pantau pantai Clungup terbuat dari bale-bale bambu. Sederhana tapi penuh makna, karena seakan ingin menyatu dengan alam. Malam itu, kami disambut sekitar 8 bapak – bapak jagawana kawasan konservasi tersebut. Yang pertama kita lakukan ya pasti membayar tiket seharga Rp 6.000/orang plus parkir motor Rp 5.000/motor. Disarankan untuk para traveler yang berencana camp, menelpon pihak Bhakti Alam yaitu Pak Saptoyo 081233339889 untuk konfirmasi.

 pihak Bhakti Alam menyediakan penyewaan tenda. Cukup membayar Rp 25.000,-/ tenda (muat 5 orang) dan kita mendapatkan satu matras. Selain itu, kita juga diwajibkan membayar biaya sewa lahan Rp 25.000/tenda. Jadi total biaya Rp 50.000,-. Karena Pantai Tiga Warna termasuk dalam kawasan Bhakti Alam tidak diperbolehkan untuk mendirikan tenda menginap bagi para pengunjung. Traveler diperbolehkan camping di kawasan Pantai Clungup dan Pantai Gatra.

 yang lebih penting lagi, disini traveler harus mematuhi peraturan untuk ikut menjaga kelestarian kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang. Untuk itu tiap pengunjung diwajibkan untuk melaporkan barang bawaannya. Berikut peraturan nomor 8 yang tertera di samping pos pantau “Barang yang dibawa masuk harus dibawa keluar, jika barang yang masuk tidak sesuai dengan barang yang dibawa keluar, akan dikenakan sanksi sebesar Rp 100.000/item limbah/barang yang hilang dari daftar checklist barang”. Nah karena peraturan ini tentu berdampak pada bersihnya kawasan pantai Clungup, Gatra dan Tiga Warna. Traveler yang ingin merasakan sensasi snorkeling di Malang, bisa mendapatkannya jika mengunjungi Pantai Tiga Warna. Untuk itu menuju lokasi Pantai Tiga Warna harus didampingi guide/pemandu, dengan biaya sebesar Rp 75.000/10 orang. Setelah memarkirkan kendaraan, lanjut perjalanan menuju Pantai Clungup dan kita memilih Pantai Gatra sebagai lokasi camp kita. Perjalanan kita pilih susur pantai yang saat itu sedang mulai pasang. Hati – hati ya karena batu karang cukup licin dan tajam, disarankan memakai  alas kaki yang nyaman dan aman seperti sandal gunung.